
Di Sulawesi Selatan, Muncul gerakan perlawanan rakyat mempertahankan kemerdekaan. Gerakan itu kemudian menyebar ke berbagai daerah-daerah seperti Gowa, Maros, Pangkep, Pare-Pare, Sidrap, Bulukumba, Jeneponto, serta daerah – daerah lainnya. Pangkep sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) turut ambil bagian dari upaya mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno - Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Pangkep ditetapkan sebagai bagian dari wilayah RI sejak awal September 1945, yang diumumkan oleh Andi Burhanuddin. Semua pemerintah kerajaan lokal, yang juga sebagai kepala pemerintahan onderdistrict , memberi dukungan. Dukungan yang agak kuat berasal dari Andi Mandacingi (Karaeng Mandalle), Andi Page (Karaeng Segeri), dan Andi Makin (Karaeng Ma'rang). Bahkan mereka bertiga menghadap langsung Gubernur Sulawesi, Dr GSSJ Ratulangi di Makassar. Dukungan lainnya berasal dari Bungoro, Balocci, Labakkang dan Pulau.
Awal September 1945, Andi Burhanuddin membentuk Barisan Pemuda Merah Putih (disingkat Barisan PMP). Badan perjuangan yang mula terbentuk itu dipimpin oleh Zainuddin Condeng dan Abdul Latif dengan para anggotanya berasal dari bekas Heiho, Boei Taisin Tai dan Seinendan. Ada pula yang pernah dilatih oleh Pemerintah Belanda menjelang kedatangan Jepang, yakni Barisan Staatswatch . Pemuda militan ditampung dalam Barisan PMP, sehingga kekuatan perjuangan bisa terkoordinasi.
Konsolidasi Barisan PMP, kemudian dipusatkan di Mandalle. Di tempat itu, Andi Mandacingi berusaha memperkuat badan perjuangan, dengan pembinaan pemuda-pemuda. Ia dibantu oleh semua pimpinan PMP, Zainuddin Condeng dkk. Para kepala kampung dalam Distrik Mandalle diberi penjelasan tentang kemerdekaan dan usaha mempertahankannya. Pemuka masyarakat berpengaruh, menjadi sasaran utama, agar tidak menjadi sasaran bujukan NICA. Akhir September 1945, NICA memulai aksinya, antara lain membujuk tokoh masyarakat dan bangsawan lokal. Demikian, maka Andi Mandacingi menemui Mamma Daeng Mangimbangi, sepupunya sendiri. Biasanya NICA senang mengadu domba diantara bangsawan lokal yang masih dekat hubungan kekerabatannya. Melalui ucapan dalam bahasa Bugis, Mamma memberikan tanda dukungan, sebagai berikut : “paonanni lopi utonang, narekko titti-i, titti'na utonangi, narekko lumpangi, lumpanna utonangi” .
Pada 20 September 1945, kepala kampung, imam, pemuka masyarakat, dan pemuda pejuang mengucapkan ikrar kesetiaan, bertempat di kediaman raja (Saoraja) Mandalle. Peresmian Barisan Pemuda Merah Putih oleh Andi Mandacingi sekaligus menyatakan bahwa wilayah adatgemenschaap Mandalle adalah bagian dari RI. Malamnya, susunan Barisan PMP disahkan dan dipilih sebagai Pimpinan Umum, Zainuddin Condeng dengan Kepala Pasukan Abdul Lathief dan Mamma Dg Mangimbangi, Sementara Kepala Kelompok M Jamil, M Tahir Dg Liong dan Lakaterru Baco Pararang. Kepala Pemerintahan Mandalle merupakan Penguasa Hukum dan Pertahanan/Keamanan Wilayah. Sejak itu, Mandalle menjadi pusat kekuatan pejuang kemerdekaan di daerah Pangkep. Wilayah gerak meliputi daerah Segeri dan Ma'rang.
Di Segeri, dibentuk Barisan PMP, cabang Mandalle. Pada 5 Oktober 1946, terpilih sebagai Kepala Pasukan adalah Hadele dengan Kepala Kelompok yaitu Supu Dg Pasanrang, Sudding, La Magga, dan Beddu Lai. Setiap gerakan termasuk pembinaan kesatuan, dalam hal yang memungkinkan selalu terjalin kerjasama dengan pimpinan di Mandalle. Koordinasi dengan pemuda Ma'rang menghasilkan susunan pengurus Barisan PMP dengan Kepala Pasukan Abdul Lathief dan para Kepala kelompok Parellu, Baso Dg Magading, Patahuddin, M Badwi.
Wilayah gerak Barisan PMP Ma'rang, meliputi pula wilayah Kota Pangkajene yang dipimpin oleh M Badwi, karena pada saat itu NICA sudah menguasai Pangkajene dan sudah menanamkan pengaruhnya. Perkembangan organisasi perjuangan, menyebabkan diadakan susunan pengurus khusus Mandalle dengan Kepala Pasukan Mamma Daeng Mangimbangi dengan Para Kepala Kelompok : M Tahir Dg Liong, La Katerru Baco Pararang, Sabe Sanre, dan La Upe Dg Ngalle.
Pembentukan kepala pasukan di tiga tempat itu, lebih memperkokoh kekuatan pejuang. Yang menjadi hambatan, sisa masalah senjata. Orang-orang Jepang sejak bulan September sudah berkumpul di Kota Makassar. Maka, untuk dipergunakan dalam latihan, pemuda memakai tombak dan bambu runcing. Sementara Andi Mandacingi dan Zainuddin Condeng mengusahakan pengadaan senjata. Seperti di tempat lain, yang menjadi pelatih, mereka yang berasal dari Heiho, Boei Teisin Tai, dibantu Seinendan. Juga dijalin kerjasama dengan laskar GPT (Gerakan Pemuda Tanete) pimpinan Andi Abdul Muis Datu Lolo. Usaha pengadaan senjata dilakukan melalui berbagai cara. Ke Kalimantan dibawa beras untuk ditukarkan dengan senjata. Dari pulau seberang Selat Makassar itu, diperoleh berita ada orang-orang yang menyimpan senjata. Tentara sekutu yang ingin kembali, bersedia menyerahkan senjatanya, dengan tukaran makanan, terutama ayam. Juga orang Jepang yang melepaskan diri dari kesatuannya, mau menukar senjatanya dengan beras.
Ketika itu, terkenal istilah “sikokang” , artinya tukar menukar barang. M Amin Sajo ditugaskan pula mencari senjata di Makassar. Ia kebetulan mengikuti kursus kader PNI pimpinan Mr Tajuddin Noer, pada November 1945. Ke Kalimantan ditugaskan La Ribi dan kawan – kawan yang berhasil membawa kembali satu peti berisi 24 biji granat tangan dan 40 pasang pakaian dinas militer (seragam). Sambil mencari senjata, Zainuddin Condeng bersama Ishak Lubis, atas perintah Andi Mandacingi, berangkat ke Makassar. Tugas lainnya ialah menemui para pemimpin pemuda. Akan tetapi, para pemuda di Makassar pun kekurangan senjata. Mereka gagal memperoleh senjata dari Jepang, hanya karena terdapat perbedaan paham antara pemuda militan dengan kelompok Dr Ratulangi yang menekankan perjuangan diplomasi.
Di Balocci, wilayah pinggiran gunung batu sekitar Tonasa, dibentuk pula PPNI pada November 1945, dengan pimpinan H Abdul Hamid, Muhammad Hasyim, Abdul Muthalib, Ballacco Dg Parumpa dan Abdul Gani, bermarkas di Matojeng, (Sarita Pawiloy, 1987 : 158 – 163). Konsolidasi markas dipusatkan di Mandalle, pemukiman penduduk di sekitar bukit sebelah timur poros jalan raya utama. Laskar pejuang pada umumnya hanya memegang senjata tajam dan beberapa buah granat tangan. Dapat dibayangkan sulitnya perlawanan terhadap musuh yang bersenjata lengkap. Keadaan itu berlangsung hingga Juli 1946.
Di Pangkep, wadah kelaskaran cukup rapi, dan mempunyai cukup banyak anggota. Wadah yang terakhir dibentuk ialah KRIS Muda (28 Juli 1946), yang bermarkas di Coppotompong. Pimpinan dipegang oleh M Dahlan dan Zainuddin Condeng. Dalam struktur kesatuan militer, kekuatan KRIS Muda ialah satu batalion, namun hanya tenaga manusia dengan persenjataan yang terlalu kurang. Selain perlawanan bentuk sabotase, penerangan tentang kemerdekaan dan pemasangan pamflet ; adanya laskar membantu perembesan operasi laskar yang lebih kuat di daerah Pangkep.
Pada September 1946, laskar Harimau Indonesia (HI) datang ke wilayah Pangkep bagian pegunungan dan mendirikan markas di Bulu Langi. Pejuang di Mandalle, yang tergabung dalam KRIS Muda menyambut hangat laskar HI di daerahnya. Daya tarik HI ialah kelengkapan senjata mereka. Dalam bulan September 1946, seorang pejuang dari Enrekang ingin bergabung yaitu Andi Sose. Ia diterima oleh Muhammad Syah, pimpinan HI, akan tetapi diminta agar kembali ke daerah asalnya dan membentuk laskar HI disana.
Kontak senjata pasukan gabungan HI / KRIS Muda melawan KNIL meletus di Kampung Pettung. Seorang laskar pejuang gugur, bernama La Mappa (dalam bulan Oktober 1946). Dalam Nopember 1946, laskar pimpinan Mamma bertahan mati-matian atas serangan KNIL. Mamma sendiri gugur dalam pertempuran itu. Pasukan HI yang selalu mobiele dalam operasinya, sulit dijebak oleh musuh. Januari 1946, Pimpinan HI mengikuti konferensi di Paccekke atas undangan Mayor Andi Mattalatta, berdasar mandat dari Panglima Jenderal Soedirman. Selama di Mandalle-Pangkep, Pasukan HI bersama KRIS Muda dan Banteng Indonesia Sulawesi (BIS) melakukan kontak senjata dengan musuh tak kurang 20 kali dari September 1946 s.d. Maret 1947.
Tak banyak yang tahu bahwa Pulau Kalu-kalukuang, Liukang Kalmas banyak memberikan andil bagi keberhasilan perjuangan kemerdekaan RI, khususnya di Sulawesi Selatan. Pulau yang berjarak 185, 82 mil dari ibukota Pangkep itu di era revolusi fisik, dijadikan basis perjuangan/tempat persinggahan yang aman dan strategis bagi para pejuang kemerdekaan baik dari Pulau Jawa maupun dari Sulawesi Selatan sendiri. Sebut saja ekspedisi TRIPS (Tentara Rakyat Indonesia Persiapan Sulawesi) dibawah pimpinan Mayor Johan Dg Mangung yang bermarkas di Lawang, Jawa Timur beberapa kali melakukan ekspedisi ke Sulawesi Selatan pada tahun 1947 dengan menggunakan Perahu Lete' khas buatan orang Pulau Kalu-kalukuang.
Dari sekian banyak ekspedisi itu, salah satu yang terkenal adalah ekspedisi dibawah pimpinan Kapten A Hasan Rala (mantan Bupati Maros) dengan menggunakan Perahu Lete', yang bernama Kapten Pahlawan Laut (Kapten Baru) dari Pulau Kalu-Kalukuang. Kapal itu milik Hj St Hawa yang diawaki oleh suaminya sendiri H Bakkar Puang Menda sebagai nakhoda dengan dibantu 6 orang sawi yakni Baco, Sehe, Tangnga, Kadir, Pudding dan Lanuddin. Ekspedisi ini berjumlah 36 orang pejuang Sul-Sel, diantaranya Lettu AA Rifai dan Letda Achmad Lamo (mantan Gubernur Sul-Sel).
Ekspedisi ini berangkat pada 28 Januari 1947 dari Bondowoso, singgah di Pulau Kalu-kalukuang pada 1 Februari 1947. Setelah istirahat beberapa hari, perjalanan dilanjutkan dan singgah di CempaE, Barru pada 16 Februari 1947. Sebagai bukti keiikut-sertaan rakyat pulau Kalu-kalukuang (Liukang Kalmas) dalam sejarah perjuangan kemerdekaan RI, sampai sekarang Perahu Lete' yang pernah dipakai dalam ekspedisi TRIPS tersebut diabadikan di Museum ALRI, Surabaya.
Perlawanan di pulau – pulau kecil dilakukan oleh PPNI / ALRI yang dibentuk oleh Ali Malaka, Abdul Khalik dan Abdul Muthalib dalam bulan Oktober, diresmikan pada 4 Nopember 1946. Pusat laskar di Pulau Sarappo Lompo. Selain melakukan perlawanan, anggota PPNBI / ALRI juga mengatur penyerangan para pejuang Sul-sel ke Jawa dan Kalimantan, meski saat itu persenjataan sangat terbatas.
Awal Maret 1947, satu peleton TRIPS dari Jawa, berangkat dari Purbalingga, tiba di Daerah Pangkep. Sebagian dari mereka telah mendarat di pesisir pantai Mandalle, ketika musuh segera datang ketempat pendaratan. Komposisi pasukan TRIPS tersebut : Danton Letda Yos Effendi, wakilnya Letda Taeras Daulat. Para komandan regu : Coni, Samaila dan La Combalang. Senjata yang dibawa hanya 41 pucuk, terdiri dari 1 pucuk mortar 3 inci, 2 pucuk owengun, 2 pucuk stengun, 2 pucuk pistol colt, dan 34 pucuk senjata karaben. Bawaan lainnya berupa 50 karung gula pasir dan 20 peti granat tangan.
Suatu tipuan licik KNIL sempat memerdaya pasukan TRIPS. KNIL mengibarkan bendera merah putih mendekati pantai, dimana pendaratan akan dilaksanakan. Melihat “kawan” sementara menyambut, Yos Effendi memerintahkan pletonnya mendarat. Ketika itu juga, serangan KNIL dilancarkan. TRIPS sadar, bahwa para penyambut ternyata adalah musuh. Kontak senjatapun akhirnya berlangsung dari pukul 18.00 sampai pukul 22.00. Dua orang pejuang gugur. Berikut seorang awak perahu tewas. Mereka yang masih berada diatas perahu segera menghindar dari tempat itu. Kemudian berlayar kembali ke Jawa.