
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pangkajene dan Kepulauan belum bersatu dalam satu wilayah pemerintahan. Pangkajene dengan daratannya berstatus Onderafdeeling dengan nama ‘ Onderafdeeling Pangkajene ' dibawah taktis ‘Afdeeling Makassar ' dengan 7 adat gemenschap yaitu : Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma'rang, Segeri, Mandalle dan Balocci. Onder afdeeling Pangkajene waktu itu berada dibawah pengawasan seorang Gezaghebber setingkat Controleur yang berkedudukan di Pangkajene, sedang adat–adat gemenschap dipercayakan kepada karaeng – karaeng.
Wilayah kepulauan sebagai bagian dari Stadsgemente Makassar, dikepalai oleh Kepala Distrik Makassar yang wilayah meliputi : Pulau – pulau ‘Spermonde' , terdiri dari 57 pulau, Kalu-kalukuang Group terdiri dari 8 pulau, Postelion dan Paternoster terdiri dari 52 pulau. Pulau–pulau tersebut disusun berkelompok disesuaikan jangkauan geografisnya serta diperintah oleh seorang Gallarang , yang statusnya sama dengan ‘Kepala Kampung'.
Di masa pemerintahan Jepang (1942 – 1945), Sistem pemerintahan di Pangkajene tidak berubah, yang berubah hanyalah bahasa. Adat gemeenschap dinamai “Gun”, dikepalai ‘Guntjo', dikoordinir oleh ‘Guntjo Sodai' dari Indonesia dibawah taktis Bunken Kanrikan dari Jepang. Sedang pulau tetap dalam wilayah ‘ Stadsgemente Makassar' dengan penyebutan “Makassar Si”, dikepalai ‘Makassar Sitjo' dan Distrik Makassar disebut “Makassar Gun”, dikepalai “Makassar Guntjo” .
Dengan Staatsblad 1946 / 17 Daerah – daerah bekas Rechtstreeks Bestuursgebied termasuk Onderafdeeling Pangkajene dibentuklah swapraja baru ( Neo Zelfsbestuur ), terdiri dari gabungan adat gemenschap . Wilayah kepulauan, mulai dipisah dari Gemente Makassar dengan Ketua Dewan Hadat Abdul Rahim Dg Tuppu, mantan Kepala District Makassar dengan anggota hadat : Gallarang Balang Lompo, Gallarang Barrang lompo, Gallarang Sapuka, Gallarang Salemo, Gallarang Kalu-kalukuang, dan Gallarang Kodingareng.
UU No. 22 Tahun 1948 yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat RI tetap bertahan meski Belanda belum mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan SK Mendagri No. Des. 1 / 14 / 4 / 1951, Gubernur diperintahkan mempersiapkan daerah otonom baru setingkat Daerah Swatantra Tingkat II, disusul PP No. 34 / 1952, jo. PP No. 2 / 1952, dibentuklah DAERAH MAKASSAR yang berkedudukan di Sungguminasa, Takalar, Jeneponto, Maros, Pangkajene dan Kepulauan sebagai Daerah Otonom Tingkat II.
Akibat perkembangan kehidupan bernegara, lahir pula UU Darurat No. 2 Tahun 1957, dimana DAERAH MAKASSAR dipecah menjadi Daerah : Gowa, Makassar, Jeneponto dan Takalar. Kabupaten Makassar membawahi wilayah–wilayah : (1) Onderafdeeling Pulau – Pulau ; (2) Onderafdeeling Maros ; (3) Onderafdeeling Pangkajene dengan pimpinan Bupati Kepala Daerah Andi Tjatjo. Usaha simplikasi pembentukan daerah – daerah dilanjutkan Pemerintah Pusat RI dengan UU No. 29 Tahun 1959, dimana Pangkep menjadi daerah otonom tingkat II, digabung dengan bekas onderafdeling pulau – pulau, sehingga menjadi Kabupaten Dati II Pangkep yang membawahi 9 kecamatan, yakni : Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma'rang, Balocci, Segeri Mandalle, Liukang Tupabbiring, Liukang Kalmas, Liukang Tangaya dengan Bupati pertama, Mallarangeng Dg Matutu.
Kini, Kabupaten Pangkep tidak lagi terdiri dari 9 kecamatan, tapi 12 wilayah kecamatan. Sebagai bagian dari semangat Otonomi Daerah, maka lewat Perda No. 13 / 2000 ( Lembaran Daerah No. 18 Tahun 2000) telah dibentuk tiga kecamatan baru. Wilayah administrasi pemerintahan Pangkep saat ini meliputi Pangkajene, Balocci, Bungoro, Labakkang, Ma'rang, Segeri, Liukang Tupabiring, Liukang Kalmas, Liukang Tangaya, Minasate'ne, Mandalle, dan Kecamatan Tondong Tallasa.